Istilah Nusantara dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit, yang secara geografis, wilayahnya lebih luas jika dibandingkan
dengan Indonesia pada masa sekarang. Wilayah Nusantara pada masa itu meliputi pulau-pulau
di Indonesia sekarang sampai Papua Nugini, Malaysia, Myanmar, Brunai,
Philipina, Thailand dan dan bahkan sampai kepaulauan Salomon di sebelah timur
Papua Nugini. Pada masa itu Nusantara juga dikenal dengan nama “Negeri Bawah Angin”. Disamping itu
Nusantara juga diberi sebutan “Lesser
India” atau India Kecil. Sedangkan orang-orang yang berada diwilayah
Nusantara memberikan sebutan “Negeri Atas
Angin” kepada negeri India, Persia, dan Arab.
Orang-orang Nusantara yang berada di Haramain (Makkah dan Madinah), mereka dikenal dengan sebutan Jawi. Karena itu seorang ulama Nusantara
yang sedang belajar atau tinggal di tanah suci, mereka dikenal dengan sebutan Ulama. Semoga keterangan ini
mengantarkan kalian untuk mempelajari sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Kondisi
Sosial dan Budaya di Indonesia
Sejak awal Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdaganggan
antara kepulauan Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara yang
dikenal dengan jalur sutera, Wilayah
Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak zaman dahulu merupakan wilayah yang
menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik
bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku di pasarkan di Jawa
dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing
pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad I dan VII M.
Banyak diantara para sejarawan
yang mengkaji tentang proses masuknya Islam masuk ke Nusantara. Dan pada bahasan
berikut Setidaknya ada tiga teori
mengenai proses masuknya Islam di Nusantara yaitu Persia, India, dan Arab.
Teori pertama mengungkapkan bahwa Agama Islam masuk ke Nusantara berasal
dari Persia. Marrison
menguatkan teori pertama ini dengan dasar adanya pengaruh Persia yang jelas dalam kosa
kata kesusateraan Melayu.
Kedatangan ulama besar bernama
Al-Qadhi Amir Sayyid as-Syirazi dari Persia di Kerajaan Samudera Pasai ikut
juga sebagai penggiat dan penegas teori
Persia.
Teori kedua, Pijnappel dan
Moquette keduanya dari Belanda ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke
Nusantara berasal dari Gujarat dan Malabar, India. Penggagas teori kedua ini
mendasarkan penelitiaanya pada kesamaan mazhab yang dianut oleh kaum muslimin di Nusantara dan di
Gujarat. Di samping itu
Moquette menguatkan teori Islam Nusantara berasal dari Gujarat (India), dengan
hasil penelitiannya terhadap batu nisan di kedua wilayah tersebut. Menurutnya,
ada persamaan mencolok dan jelas antara batu nisan di Pasai yang tertulis
tanggal 17 Zulhijah 831 H/27 September 1428 M dan batu nisan syekh Maulana
Malik Ibrahim di Gresik dengan batu nisan di Cambay,
Gujarat. Atas dasar penemuan itulah, Moquette menegaskan bahwa Islam di
Nusantara berasal dari Gujarat. Teori Islam Nusantara ini juga diperkuat oleh
Fatimi. Ia menyatakan bahwa Islam
berasal dari Bengal. Hasil penelitian Fatimi atas batu nisan Malik
al-Saleh diketemukan adanya banyak
persamaan antara batu nisan tersebut dengan batu nisan di Bengal.
Menurut pendapat Morisson; agama Islam masuk ke
Nusantara dibawa oleh orang-orang dari Pantai
Coromandel. Pendapat yang sama sebelumnya pernah dikemukakan oleh Arnold. Ia
mendasarkan penelitiannya pada kesamaan mazhab antara kaum muslimin dari Pantai
Coromandel (juga Malabar) dan Nusantara, yakni kebanyakan mengikuti mazhab
Syafi’iyah. Ia perpendapat bahwa Islam Nusantara juga berasal dari negara
Arab. Teori Arnold yang menyatakan bahwa Islam berasal dari India dan Arab
sekaligus juga pernah dikemukakan oleh sejarawan yang bernama Crawford. Teori kedua ini
dikenal dengan teori Gujarat.
Teori ketiga, Menurut
sejarawan, Keijzer memiliki analisis yang berbeda, menurutnya, Agama Islam
masuk ke Nusantara berasal dari Mesir. Ia mendasarkan teorinya pada kesamaan
mazhab, yaitu mazhab Syafi’iyah. Sementara itu, Niemann dan de Holander
menyatakan Hadramaut sebagai tempat Islam berasal. Pada umumnya, para ahli di
Indonesia setuju teori Arab ini.
Berdasarkan hasil
seminar Nasional masuknya Islam ke Nusantara yang diadakan tahun 1969 dan tahun 1978, mereka menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke
Nusantara pada abad VII M dan langsung dari tanah Arab. Daerah yang pertama
kali disinggahi adalah pesisir Sumatera.
Keberadaan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur
juga bisa dijadikan sebagai bukti paling awal adanya agama Islam di Jawa. Makam tersebut
bertanggal tahun 475 H/1028 M. Namun,
belum ada bukti bahwa komunitas Islam pada waktu itu sudah terbentuk. Di
Trowulan dan Tralaya, di dekat situs istana Majapahit, terdapat nisan-nisan
orang–orang Islam. Nisan itu bertanggal 1290 tahun Saka (1368-1369 M). Melihat
Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an pada nisan-nisan itu menunjukkan kehadiran Islam
pada sekitar tahun itu.
Beberapa argumen lain yang menyokong pendapat tentang Islam masuk
ke Indonesia pada Abad ke 7 dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Seminar Masuknya Islam di Indonesia (di Aceh) sebagai dasar adalah
catatan perjalanan Al Mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M terdapat
utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga (Jepara).
b.
Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan
bahwa kaum muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh
para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalannya ke Cina.
c.
Gerini dalam bukunya: Futher India and Indo-Malay Archipelago,
di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India,
Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
d.
Prof. Sayed Naguib al-Attas dalam bukunya: Preliminary Statemate
on General Theory of Islamization of Malaya-Indonesian Archipelago (1969),
di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan
Malaya-Indonesia pada 672 M.
e.
Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam bukunya: Islam comes to
Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah
masuk ke Malaya.
f.
Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul
Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa
beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 M sudah ada hubungan dengan kaum muslimin
Indonesia.
Proses
Penyebaran Islam di Indonesia
Masyarakat di kawasan Asia Tenggara telah mempunyai peradaban
yang tinggi sebelum kedatangan Islam. Hal demikian dikarenakan kawasan Asia Tenggara terdiri dari
negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan agama. Negara-negara ini,
termasuk Indonesia telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India dan
Cina. Tidak hanya dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga adat istiadat,
agama dan kepercayaan.
Dalam bidang sastra, ditemukan
buku-buku (kitab) kuno seperti kitab suluk yang mengkisahkan perjalanan seorang
sufi agar memperoleh ilmu sejati. Kitab lain adalah kitab sutasoma, kitab
Negara kertagama, dan sebagainya. Paparan tersebut menggambarkan bahwa
masyarakat Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama dan kepercayaan
yaitu agama Hindu, Budha, selain animisme dan dinamisme yang telah berkembang
lama sebelumnya.
Proses penyebaran agama Islam di
Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri terhadap adat
istiadat penduduk tanpa paksaan dan kekerasan. Hal inilah yang menyebabkan agama
Islam mudah diterima, faktor lain adalah agama Islam memberi penghargaan pada
sesama manusia dengan tidak membedakan harkat derajat dan martabat. Menurut Uka
Tjandra Sasmita proses masuknya Islam di Indonesia adalah sebagai
berikut :
a.
Perdagangan.
Inilah
saluran awal proses Islamisasi di Indonesia, pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia
kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India. Mereka telah ambil
bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia dan memunculkan jalinan hubungan dagang
antara masyarakat Indonesia dan para pedagang Islam. Proses penyebaran Islam melalui
perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif di banding cara lainnya.
b.
Perkawinan
Dari
proses hubungan komunikasi yang baik tidak jarang diteruskan dengan adanya
perkawinan antara putri kaum pribumi dengan para pedagang muslim. Misalnya,
perkawinan Raden Rakhmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, perkawinan antara
Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungaten, perkawinan antara Raja Brawijaya
dengan putri Cempa yang beragama Islam kemudian berputera Raden Patah yang pada
akhirnya menjadi raja Demak.
c.
Politik
Islamisasi
melalui saluran politik dilakukan secara berkesinambungan dengan penguasa dan
pemerintahan, setelah penguasa atau rajanya masuk Islam hampir pasti rakyatnya
juga masuk Islam (contoh di Maluku dan Sulawesi).
d.
Pendidikan
Jalur
pendidikan menjadi media yang efektif dalam proses Islamisasi di Indonesia yang
dilakukan melalui pesantren-pesantren dan pondok-pondok oleh para guru agama,
kyai dan ulama. Melalui pendidikan di pondok-pondok
pesantren semuanya bertujuan untuk lebih
mempermudah penyebaran dan pemahaman agama Islam.
e.
Kesenian
Saluran
Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah dengan mengadakan
pertunjukan seni gamelan dan Wayang. Cara seperti ini banyak ditemui di
Jogjakarta, Solo, Cirebon, dan lain-lain. Seni gamelan banyak digemari
masyarakat Jawa dan ini tentu dapat mengundang masyarakat berkumpul dan
selanjutnya dilaksanakan dakwah Islam.
f.
Tasawuf.
Para Sufi
mengajarkan tasawuf yang diramu dengan ajaran yang sudah dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Seorang sufi biasa
dikenal dengan hidup dalam
kesederhanaan, mereka selalu menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya.
Banyak hal yang penting untuk diketahui mengapa agama Islam
berkembang pesat dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia antara lain :
a.
Agama
Islam bersifat terbuka, sehingga penyiaran dan pengajaran agama Islam dapat
dilakukan oleh setiap orang Islam.
b.
Penyebaran
Agama Islam dilakukan dengan cara damai.
c.
Islam tidak mengenal diskriminasi dan tidak
membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
d.
Perayaan-perayaan dalam agama Islam dilakukan dengan sederhana.
e.
Dalam
Islam dikenal adanya kewajiban mengeluarkan Zakat yang bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan kahidupan masyarakatnya dengan adanya kewajiban zakat
bagi yang mampu.
Penyebaran
Islam Melalui Kekuasaan
Islam di Indonesia dapat berkembang dengan pesat, di antaranya melalui kekuasaan politik, hal ini mendukung semakin
luasnya ajaran Islam. Secara perlahan-lahan tapi pasti, agama Islam
mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan
identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang Hindu di
pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil berbasis maritim kemudian agama Islam
berkembang dan menyebar lebih luas sampai jauh ke pelosok negeri. Sehingga bermunculan Kerajaan-kerajaan Islam
yang menjadi penyangga kekuatan dakwah Islam di Nusantara.
a.
Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1)
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini diperkirakan berdiri
sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M. sebagai hasil proses Islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang muslim sejak
abad ke-7 M, dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik al-Sholeh.
Hikayat Raja-Raja Pasai juga sebagai bukti peran da'i yang profesional. Cerita ini
menceritakan penguasa Samudera Pasai bernama Merah Silu yang memeluk agama
Islam atas ajakan Syekh Ismail. Syekh Ismail adalah seorang Da'i dan utusan
Syarif Mekah yang datang melalui Malabar. Setelah memeluk agama Islam, Merah
Silu mengganti namanya menjadi Malik al-Saleh. Raja Samudera Pasai ini
memperistri putri kerajaan Perlak yang bernama Ganggang Sari, sehingga adanya perkawinan kedua kerajaan tersebut
menjadi kekuatan besar untuk penyebaran dakwah Islam di Sumatera dan
daerah-daerah sekitarnya. Menurut para sejarawan bahwa Samudera Pasai bukanlah
kerajaan Islam pertama di Nusantara. Karena Sebelumnya, telah berdiri Kerajaan
Perlak dan Aru
Kerajaan Samudera Pasai berada di pesisir timur laut Aceh (sekitar
Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang). Ibu kotanya ada di muara
Sungai Pasangan. Terdapat dua kota besar yang terletak berseberangan di muara
Sungai Pasangan, yaitu Samudera dan Pasai.
Dalam catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyatakan, ketika Ibnu
Batutoh singgah di Pasai, raja yang
berkuasa bernama Malik al-Zahir. Ibnu Batutah menganggap bahwa raja ini
benar-benar menunjukkan citra sebagai seorang raja muslim. Malik al-Zahir
dikenal sebagai seorang raja yang ortodoks, suka mengajak dan mengundang
diskusi dengan para ahli fikih dan ushul, sehingga istananya ramai dikunjungi
para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia mengadakan hubungan dengan dunia Islam, diantaranya
dengan Persia dan Delhi.
Pada tahun 1521 kerajaan Samudera Pasai
ditaklukkan dan dikuasai oleh Bangsa Portugis yang kemudian menguasainya selama
tiga tahun. Setelah itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera
Pasai masuk dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh
Darussalam. Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada awal
abad ke-16 M. Ia memerintah antara tahun 1507 M hingga 1522 M.
Di dalam catatan sejarah, pulau Sumatera merupakan awal mula syi’ar
agama Islam di Nusantara. Dari Sumatera inilah Islam mengembangkan sayap dakwahnya
ke seluruh penjuru Tanah Air, sampai akhirnya Islam menjadi agama yang dianut
oleh mayoritas bangsa Indonesia.
2)
Kerajaan Aceh Darussalam
Secara geografis, Kerajaan Aceh berada di Kabupaten Aceh Besar,
berdiri abad ke-15 M merupakan kelanjutan dari kerajaan Lamuri oleh Muzaffar
Syah (1465 – 1497 M). Raja pertamanya adalah Ali Mughayat Syah. Wilayah
kekuasaannya dari Pidie sampai ke Sumatera Timur. Dan peletak dasar kebesaran
Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qohar.
Diantara para
sultan yang lain, Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M) berhasil membawa kejayaan kerajaan. Wilayah kekuasaannya meliputi pelabuhan di
pesisir timur dan barat Sumatera dan Aceh, tanah Gayo, Minangkabau. Setelah mangkat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memiliki sikap liberal, lemah lembut,
dan adil, pengetahuan agamanya maju dengan cepat. Sepeninggal beliau dipimpin
oleh penguasa yang lemah sehingga mengalami kemunduran.
b.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
1)
Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah
seorang adipati di Bintoro, Demak. Raden Fatah secara terang-terangan
memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran.
Dan atas prakarsa para wali, Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota
Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak. Kesuksesan Kerajaan Demak
lepas dari kekuasan Majapahit yang sedang mengalami konflik internal kekuasaan.
Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg yang sangat memperlemah
kekuatan Majapahit.
Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan
Trenggono. Kerajaan Demak berhasil memainkan peran strategis sebagai basis
penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan Kerajaan Demak
meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa
wilayah di luar Pulau Jawa. Pada tahun 1523-1524 M, Sunan Gunung Jati dengan
tentara Kerajaan Demak berangkat menuju kearah Barat untuk menaklukan Banten.
Sunan Gunung Jati adalah bersal dari Pasai yang menyingkir dari sana setelah
Samudera Pasai ditaklukan bangsa Portugis. Sunda Kelapa dapat dikuasai. Namanya
diganti menjadi Jayakarta.
Dalam mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah
ke barat, Kerajaan Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa. Tercatat
pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban. Beberapa
daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya: Wirosari/Purwodadi
(1528), Gagelang/Madiun (1529), Medangkungan/Blora (1530), Surabaya (1531),
Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan
Manaklukan Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544), Sengguruh/Malang (1545). Dalam
upayanya menguasai Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono
meninggal dunia di Panarukan .
Menurut catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh
Loaisa di tahun 1535, di antara kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak
dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan serangan pada kekuasaan
Portugis. Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi bagian
dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M
menunjukkan Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan.
Paska mangkatnya Sultan Trenggono, kepemimpinan Kerajaan Islam
Demak dilanjutkan oleh Sunan Prawoto namun tidak berselang lama, tragedi
berdarah terjadi. Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya penangsang sebagai bentuk
balas dendam terhadap Sunan Prawoto atas meninggalnya Sultan Trenggono. Arya
Penangsangpun bernasib seperti pendahulunya. Atas kehendak taqdir, dalam dalam
pertarungan satu lawan satu perlawanan Arya Penangsang berhasil dipatahkan oleh
Jaka Tingkir. Dengan bantuan Kyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta
Ki Penjawi. Kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan penobatannya
dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya
dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.
2)
Kerajaan Pajang.
Jaka Tingkir,
adalah sultan dan raja pertama Kerajaan Pajang
yang merupakan
kelanjutan dari karajaan Demak. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah mangkat diganti oleh menantunya Arya Panggiri
yang juga anak asuhan dari Prawoto. Namun putera Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran
Benawa ingin menguasai dan tidak punya kemampuan untuk melawan Arya Panggiri,
ia meminta bantuan Panembahan Senopati Penguasa Mataram untuk mengusir Arya
Panggiri dan berhasil, dan akhirnya sejak itulah kerajaan Pajang dibawah
kekuasaan Mataram.
Perkembangannya
selanjutnya, karena pada masa Sultan
Agung bermaksud memberontak, maka penguasa Mataram menghancurkannya, dan
berakhirlah kekuasaan Pajang pada tahun 1618 M.
3)
Kerajaan Mataram Islam.
Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan
oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613 -
1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak
bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun
1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi
perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama.
Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan
itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M.
Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab
runtuhnya kerajaan Islam Mataram. Namun demikian, Kerajaan Islam Mataram banyak memberikan kontribusi
terhadap proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih eksis
sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan
Hamengkubuwono.
4)
Kerajaan (Kesultanan) Cirebon.
Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak
kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Secara geografis
berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon
menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di
Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.
Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang
saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1
sura 1358 tahun jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu
menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa
pertama adalah Ki Gedeng Alang-alang dan wakilnya adalah Walangsungsang.
Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan nyi Mas Subanglarang (putri Ki
Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu
setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk
pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran
Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji
Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana
Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh
keponakannya. Yaitu buah perkawinan antara adik Pangeran Cakrabuana, yakni Nyai
Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Pangeran Cakrabuana
itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif
Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang
Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman
Khalifatu Rasulullah.
Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa
Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten,
kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa,
dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan
jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Kosongnya kekuasaan itu
kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi menjadi
sultan cirebon sejak tahun 1568.
Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon,
karena ia meninggal pada 1570. Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh
cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar
panembahan Ratu I, dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah
panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon
dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan
sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa. Panembahan
Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran
Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677,
kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga
anak Panembahan Girilaya, yakni :
a)
Pangeran
Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad
Samsudin (1677-1703)
b)
Pangeran
Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
c)
Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar
pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan”
bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai
Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan,
melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu
tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu
terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja
Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang
mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut,
pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon,
sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,
ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
pengesahan berdirinya Kota Cirebon
5)
Kerajaan (Kesultanan) Banten
Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke
Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu
pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang),
Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang
putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama
bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat
dan menjadi Penguasa Jepara.
Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abu
Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional
sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun
1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada zaman
pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de
Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan
dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung
Kesultanan
Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan
Muhamad Syafiuddin dilucuti dan
dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten
adalah sebagai berikut :
a)
Sunan
Gunung Jati
c)
Maulana Yusuf 1570 - 1580
e)
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul
Kadir 1605 - 1640
f)
Sultan Abu al Ma’ali Ahmad
1640-1650
g)
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
h)
Sultan Abdul kahar 1683-1687
i)
Sultan Fadhl atau Sultan yahya
1687-1690
j)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
k)
Muhammad
Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)
l)
Muhammad
Wasi Zainifin (1733-1750)
m)
Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
n)
Muhammad
Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
o)
Abul
Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
p)
Muhyiddin
Zainush Sholihin (1799-1801)
q)
Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
r)
Wakil
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
s)
Aliyuddin
II (1803-1808)
t)
Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
u)
Muhammad
Syafiuddin (1809-1813)
c.
Kerajaan-kerajaan Islam Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan Nusa Tenggara
1)
Kerajaan Daha (Banjar)
Tidak banyak
literatur yang menjelaskan tentang sejarah Kerajaan Daha, namun paling tidak
bisa memberikan titik terang tentang keberadaan Islam di Kalimantan selatan.
Pada awal aba XVI, Islam masuk ke kalimantan Selatan, yaitu di Kerajaan Daha
(Banjar) yang waktu itu beragama Hindu. Berkat bantuan dari Sultan Demak,
trenggono (1521-1546 M) Raja Daha dan rakyatnya memeluk agama Islam, sehingga
berdirilah kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya yaitu Pangeran Samudera
yang bergelar Pangeran Suryanullah atau Suriansah. Setelah naik tahta,
daerah-daerah sekitanya mengakui kekuasaaanya yakni daerah Batangla, Sukaciana,
Sambas dan Sambangan. Kemudian setelah itu di kalimantan Timur (Kutai) pada
tahun 1575 M Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda masuk
Islam, terjadilah Islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Setelah itu, penyebaran
Islam lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan oleh putranya dan para
penggantinya meneruskan dakwah sampai di daerah-daerah yang lebih dalam.
2)
Kerajaan Gowa - Tallo
Kultur Kerajaan Gowa - Tallo tidak dapat dipisahkan dengan Islam.
Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan
bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan ini adalah kerajaan yang
menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai “Serambi Madinah”.
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad
XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari
Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang
pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan
nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: (1) Abdul
Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; (2)
Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; (3)
Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro.
Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang
Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan
dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah
Raja Tallok dan Raja Gowa. Mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk
Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang
paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal
nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue
mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.
Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo’, Raja Gowa
Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai
Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi
oleh Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh
orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama
Islam pada abad XVI. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di
Sulawesi Selatan.
Ada pendekatan unik yang dilakukan oleh oleh Sultan Alauddin dan
Pembesar Kerajaan Gowa yaitu mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara
Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara
lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya)
melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu
harus menyampaikan kepada pihak lainnya. Dan oleh karena Gowa sekarang sudah
melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, maka Kerajaan Gowa meminta kepada
kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam
3)
Kerajaan (Kesultanan) Ternate
Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi) adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di
nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Di masa jaya
kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan
tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di
pasifik.
Pulau Gapi atau Ternate mulai ramai di awal abad XIII, penduduk
Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate
terdapat 4 kampung yang masing-masing di kepalai oleh seorang momole
(kepala marga), merekalah yang pertama-tama mengadakan hubungan dengan para
pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah-rempah.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat
sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272).
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya
semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam
Lamo” atau kampung besar (Gamalama).
Di masa-masa
awal suku Ternate dipimpin oleh para Momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan
pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Sultan Zainal Abidin
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama
menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu
(perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat
Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole di masa lalu, masing-masing di kepalai seorang
Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat-pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan-klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan-jabatan lain Bobato Nyagimoi Se Tufkange (Dewan
18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan
lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Kerajaan-kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di
Maluku. Demi menyatukan kerajaan-kerajaan tersebut, raja Ternate ke-7 Kolano
Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang
raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk
persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau
Motir Verbond. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat
maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja
pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat
istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Ia
mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah
memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan
Giri di pulau Jawa, disana beliau
dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Di masa pemerintahan Sultan
Bayanullah (1500-1521),
Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara Islami,
teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki
digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa
pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun
1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah
pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan
mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata-mata untuk
berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Pala dan Cengkih
di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan
Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda
sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak
sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate
dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran
Hidayat (kelak Sultan
Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya
sendiri. Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga
pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran
Taruwese didukung Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru
dikhianati dan dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat
kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan
untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa
India. Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian
itu ditolak mentah-mentah Sultan
Khairun (1534-1570).
Perlakuan
Portugis terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugis dari Maluku. Tindak-tanduk bangsa barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun.
Pembunuhan secara licik terhadap Sultan Khairun oleh Portugis semakin mendorong
rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini
mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583),
pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur,
setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk
selamanya tahun 1575.
Ternate mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan Sultan Baabullah,
wilayahnya membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga
kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara
hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki
“penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn
menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan
kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur,
disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala
itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja
atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme barat.
Sepeninggal
Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan
Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda
tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang
amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal
26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di
tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan
benteng pertama mereka di nusantara.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang
dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
a)
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan
mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan
besar-besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal
sebagai Hongi
Tochten, akibatnya
rakyat mengobarkan perlawanan.
b)
Tahun
1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate-Hitu Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku
Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama
seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh
saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
c)
Tahun
1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650, 1655-1675) yang terlampau akrab dan di anggap
cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan bersekutu untuk
menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio
pangeran Saidi (Kapita Laut), Majira (Raja Muda Ambon) dan Kalumata (adik Sultan Mandarsyah).
d)
Sultan
Muhammad Nurul Islam (Sultan Sibori 1675-1691) merasa gerah dengan tindak-tanduk Belanda
yang semena-mena. Ia menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa
Mindanao. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani
perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda.
Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin
Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. Hi. Mudhaffar Sjah, BcHk.
(Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh
sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan
sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate
memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur
khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup
agama, adat istiadat dan bahasa.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula
mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah
yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa
Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia”
mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa
Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa
Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu-Ternate ini kini
digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur
Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda-beda.
Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat
II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini
masih tersimpan di museum Lisabon-Portugal.
4)
Kerajaan Islam di Nusa Tenggara
Nusa Tenggaran sudah diwarnai dengan syiar Islam sejak
abad XVI m. Islam dikenalkan oleh Sultan Prapen (1605), putra sunan Giri.
Hubungan antara Sumbawa dan kerajaan Makassar membuat Islam turut berlayar ke
Nusa Tenggara.
Perkembangan Islam di Nusa Tenggara dimulai dari
Lombok, dari Lombok kemudian Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan
dan tempat-tempat lainnya hingga seluruh Lombok memeluk agama Islam. Dan dari
Lombok juga, Sunan Prapen menyampaikan dakwahnya hingga ke Sumbawa. Di Lombok
berdiri Kerajaan Selaparang dan di bawah pemerintahan Prabu Rangkeswari itulah
Kerajaan ini mengalami masa keemasan, selain itu juga memegang hegemoni di
seluruh Lombok. Selaparang juga menjalin hubungan dengan beberapa Kerajaan
Islam seperti Demak. Kerajaan Selaparang juga sering dikunjungi para pedagang,
sehingga interaksi masyarakat muslim semakin baik.
Pada saat VOC berusaha menguasai jalur perdagangan,
Kesultanan Gowa berusaha untuk menutup jalur perdagangan VOC ke Lombok dan
Sumbawa. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa banyak yang masuk dalam kekuasan
Kesultanan Gowa pada sekitar tahun 1618, Bima dikuasai Gowa tahun 1633 dan
Selaparang tahun 1640, demikian juga daerah-daerah yang lain dikuasai oleh
Kesultanan Gowa pada abad XVII. Hubungan antara kesultanan Gowa dan lombok pun
dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaperang, Pejanggik dan
Parwa.
Diantara Kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara
adalah Kesultanan Bima. Rajanya yang pertama adalah Ruma Ma Bata Wadu yang
bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Khair (1611-1640). Literatur mengenai
sejarah Kesultanan Bima di abad XX dapat diperkaya pada gambaran terperinci
Syair Kerajaan Bima. Syair Kerajaan Bima mengisahkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kesultanan Bima pada kurun 1815-1829. Ada empat kejadian yang diceritakan dalam syair tersebut:
wafatnya sultan, diangkatnya penggantinya, serangan perompak dan meletusnya Gunung Tambora. Syair Kerajaan Bima dikarang seorang khatib yang bernama
Lukman, yang masih merupakan kerabat sultan Bima, sekitar tahun 1830.
Syair Kerajaan Bima ditulis dalam Bahasa Melayu. Ragam bahasa yang
digunakan umumnya tak berbeda dengan yang dipakai di Pulau Jawa atau Sumatera. Namun terdapat beberapa
perbedaan. Pengaruh bahasa setempat (Mbojo) terlihat pada ejaan Jawi yang
digunakan pada teks. Misalnya pengarang tidak menuliskan bunyi sengau di awal
kata. Sifat bahasa Mbojo yang tidak punya bunyi konsonan di akhir kata, agaknya
turut menyebabkan kesalahan ejaan pada bunyi-bunyi k, t, p pada akhir kata. Selain pengaruh
bahasa Mbojo ditemukan juga kata-kata dari Bahasa
Makassar yang umumnya mencakup
pakaian, perhiasan dan alat upacara. Pengarang juga menyisipkan kutipan Bahasa Arab dari hadits atau ayat Al-Quran.
Syair ini ditulis dalam Bahasa
Melayu. Ragam bahasa yang digunakan umumnya tak berbeda dengan yang dipakai di
Pulau Jawa atau Sumatera.
Namun terdapat beberapa perbedaan. Pengaruh bahasa setempat (Mbojo)
terlihat pada ejaan Jawi yang digunakan pada teks. Misalnya
pengarang tidak menuliskan bunyi sengau di awal kata. Sifat bahasa Mbojo yang
tidak punya bunyi konsonan di akhir kata, agaknya turut menyebabkan kesalahan
ejaan pada bunyi-bunyi k, t, p pada akhir kata. Selain pengaruh
bahasa Mbojo ditemukan juga kata-kata dari Bahasa
Makassar yang umumnya mencakup
pakaian, perhiasan dan alat upacara. Pengarang juga menyisipkan kutipan Bahasa Arab dari hadits atau ayat
Al-Quran.(http://id.wikipedia.org/wiki/Syair_Kerajaan_Bima)
Pengaruh Islam Terhadap Peradaban Nusantara
Indonesia yang memiliki posisi strategis menjadi salah satu pusat perdagangan internasional di
kawasan Asia Tenggara. Lalu lintas perdagangan internasional ini jelas
memberikan pengaruh yang besar dari sisi sosial-ekonomi bagi wilayah Nusantara.
Saudagar-saudagar muslim baik dari Arab, Persia, India, Cina maupun dari
berbagai manca negara membawa pengaruh
budaya mereka. Dan pada akhirnya, kehadiran mereka ikut mempengaruhi pola
pikir, sikap, dan budaya masyarakat di Tanah Air.
Secara politis, Ulama memiliki Kedudukan sebagai penasihat kerajaan
atau hakim dalam pemerintahan, hal ini semakin mempermudah penyebaran agama Islam ke daerah lain. Mereka
melahirkan kader-kader da'i yang diberi tugas sebagai juru dakwah untuk
daerah-daerah yang belum dimasuki dakwah Islam. Para ulama juga giat menulis
buku dan kitab, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum.
Sentuhan Ilmuwan Muslim banyak terdapat di masjid yang didirikan
oleh para wali yang mengembangkan kekokohan dan gaya arsitektur yang indah
dengan sentuhan etnik dan budaya lokal, contohnya, dalam pembangunan Masjid
Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Menara Kudus,
dan Masjid Agung Baiturrahim Aceh. Keindahan arsitektur maupun ornamennya
merupakan khazanah kebudayaan yang harus dijaga
kelestariannya. Lebih dari itu, sentuhan budaya setempat menjadikan
kehadiran masjid dapat diterima oleh rakyat, tanpa terjadi penolakan atau
gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama baru. Inilah salah satu
kecerdikan dan kecerdasan para ulama dalam menyikapi karakter masyarakat.
Para wali, ulama, dan mubalig mampu membangun keharmonisan antara
budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. Di tanah Jawa wayang yang
berdasar cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sarana dakwah para wali
dan mubalig. Di samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga
mengenal masuknya seni budaya Islam Timur Tengah ke Tanah Air seperti rebana
dan qasidah. Adat-istiadat yang berkembang di Indonesia banyak terpengaruh oleh
peradaban Islam. Di antaranya adalah ucapan salam kepada setiap kaum muslim
yang dijumpai, atau penggunaannya dalam acara-acara resmi pemerintah. Pengaruh
lainnya adalah berupa ucapan-ucapan kalimat penting dan doa, yang merupakan
pengaruh dari tradisi Islam yang lestari. Misalnya, ucapan Basmallah
ketika akan melakukan sesuatu pekerjaan.
Dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa
kejayaan, banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem
politik pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya tentang konsep kholifatullah fil ardli dan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini
diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam
Mataram.
Perkembangan Islam dan Kesuksesan dakwah di Indonesia karena
beberapa factor, diantaranya adalah :
a.
Berdakwah merupakan kewajiban, ini menjadi
motivasi bagi setiap muslim bahwa dakwah merupakan kewajiban dan panggilan
jiwa.
b.
Masuk
Islam tidak memerlukan persyaratan yang berbelit-belit tetapi sangat mudah,
aktifitas ibadah di dalam agama Islam
cukup mudah dan tidak memberatkan.
c.
Dalam ajaran Islam tidak mengenal pembedaan
harkat,derajat adan martabat manusia berdasarkan kasta/gelar. Semuanya hanya diukur berdasarkan tingkat ketakwaan kepada Allah.
d.
Pendekatan persuasif dan cara yang simpatik
sebagai cara alternatif dalam berdakwah, seperti melalui jalur perdagangan,
kesenian, dan budaya.
e.
Para ulama dan juru dakwah mampu menampilkan
kepribadian yang luhur dan akhlakul karimah.
f.
Dari
sisi ajaran, Islam dipandang sesuai kepribadian bangsa Indonesia sebagai bagian dari budaya ketimuran.
Perkembangan
Islam pada masa penjajahan (di
Bawah Tekanan Imperialisme)
Imperialisme bangsa Barat terhadap
bangsa-bangsa Islam berdampak terhadap perkembangan Islam di Nusantara.
Masyarakat muslim di Nusantara harus berjuang untuk menghalau penjajah dan
berusaha untuk mencapai klimaks kemerdekaan di tahun 1945. Perjalanan bangsa
Barat hingga ke Benua Asia tidak lepas dari motivasi Gold, Glory dan Gospel.
Yaitu upaya untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen.
Setelah bangsa Portugis dan Belanda menjajah bangsa Indonesia,
rakyat harus bangkit melawan kesewenangan yang dijalankan pemerintah kolonial
tersebut. Rakyat Indonesia bangkit bersama-sama melawan Portugis dan Belanda
dan berusaha memerdekakan diri dari cengkeraman penjajah.
Situasi yang terjadi di dunia Islam seperti itu berdampak negatif
bagi pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Islam, ilmu pengetahuan serta peradaban
Islam di Indonesia. Umat Islam tidak mampu lagi bangkit untuk menumbuh kembangkan
ilmu pengetahuan dan peradaban yang sebelumnya pernah dikembangkan oleh umat Islam
di Andalusia atau Baghdad. Mereka semua berusaha mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari
cengkeraman penjajah, sehingga banyak umat Islam yang kurang memikirkan kemajuan
peradaban dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penjajahan itu menyebabkan kehancuran politik bangsa, seperti
Indonesia, tidak mampu memimpin bangsanya, tidak dapat mengatasi kesulitan dan
penderitaan rakyatnya. Politik devide et
impera (politik adu domba) membuat bangsa yang dijajah mempunyai watak
mementingkan dirinya sendiri dan saling bermusuhan antara satu sama lain. Sikap
dan perilaku mereka sangat bertentangan dengan watak bangsa Indonesia dan
nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama Islam.
Bahaya lain dalam bidang politik yang diakibatkan dari penjajahan
adalah penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Paham ini kemudian
dikembangkan oleh kaum yang ingin mencapai tujuan dengan menghalalkan segala
cara. Paham ini sangat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan umat
Islam secara keseluruhan. Hampir seluruh negeri Islam di dunia yang pernah
dijajah oleh bangsa-bangsa Barat, dalam struktur pemerintahannya dan landasan
negerinya mempergunakan landasan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Umat Islam harus
saling tolong-menolong dan membantu sesama, dengan tanpa dilatar belakangi oleh
kepentingan pribadi, suku atau golongan. Umat Islam harus
dapat membangkitkan semangat juang mereka dalam segala hal. Sehingga mereka
tidak lagi menjadi bahan atau objek penjajahan. Umat Islam harus bersatu dan
memperjuangkan hak-hak masyarakat muslim dari penindasan yang dilakukan, baik
oleh bangsa-bangsa Barat atau pun penindasan yang dilakukan oleh umat Islam
sendiri. Umat Islam harus terbebas dari segala bentuk penindasan dan
ketergantungan dengan bangsa-bangsa bekas penjajahnya.
Pada akhirnya kedatangan kaum kolonialis di
satu sisi telah membangkitkan dan mengorbarkan semangat jihad kaum muslimin di
Indonesia, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata.
Hanya kalangan pesantren (Madrasah) saja yang mendalami keislaman. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup ke-Barat-baratan. Kondisi seperti ini setidaknya
masih terjadi hingga sekarang. Dan Ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka
yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia),
Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang
Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar) dan lain-lain.
RANGKUMAN
1.
Proses penyebaran agama Islam di Indonesia
dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri terhadap adat istiadat
penduduk tanpa paksaan dan kekerasan.
2.
Menurut Uka Tjandra Sasmita proses masuknya
Islam di Indonesia melalui jalur Perdagangan, Perkawinan, Politik, Pendidikan,
Kesenian dan Tasawuf.
3.
Agama Islam berkembang pesat dan mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia karena agama Islam bersifat terbuka,
penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara
damai dan Islam tidak mengenal diskriminasi
dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
4.
Dalam bidang politik, ketika
kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan, banyak sekali unsur politik
Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan
Islam. Misalnya tentang konsep kholifatullah
fil ardli dan dzillullah fi ardli.
Kedua konsep ini diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan
kerajaan Islam Mataram.
5.
Imperialisme
bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Islam di Benua Asia tidak lepas dari
motivasi Gold, Glory dan Gospel. Yaitu upaya untuk mendapatkan
kekayaan, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen.
0 komentar:
Posting Komentar