Kamis, 04 Februari 2016

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Unknown

Istilah Nusantara dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang secara geografis, wilayahnya lebih luas jika dibandingkan dengan Indonesia pada masa sekarang. Wilayah Nusantara pada masa itu meliputi pulau-pulau di Indonesia sekarang sampai Papua Nugini, Malaysia, Myanmar, Brunai, Philipina, Thailand dan dan bahkan sampai kepaulauan Salomon di sebelah timur Papua Nugini. Pada masa itu Nusantara juga dikenal dengan nama “Negeri Bawah Angin”. Disamping itu Nusantara juga diberi sebutan “Lesser India” atau India Kecil. Sedangkan orang-orang yang berada diwilayah Nusantara memberikan sebutan “Negeri Atas Angin” kepada negeri India, Persia, dan Arab.
Orang-orang Nusantara yang berada di Haramain (Makkah dan Madinah), mereka dikenal dengan sebutan Jawi. Karena itu seorang ulama Nusantara yang sedang belajar atau tinggal di tanah suci, mereka dikenal dengan sebutan Ulama. Semoga keterangan ini mengantarkan kalian untuk mempelajari sejarah perkembangan Islam di Nusantara.

Kondisi Sosial dan Budaya di Indonesia
Sejak awal Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdaganggan antara kepulauan Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara yang dikenal dengan jalur sutera, Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak zaman dahulu merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku di pasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad I dan VII M.
Banyak diantara para sejarawan yang mengkaji tentang proses masuknya Islam masuk ke Nusantara. Dan  pada bahasan  berikut  Setidaknya ada tiga teori mengenai proses masuknya Islam di Nusantara yaitu Persia, India, dan Arab. Teori pertama mengungkapkan bahwa Agama Islam masuk ke Nusantara berasal dari Persia. Marrison menguatkan teori pertama ini dengan dasar adanya pengaruh Persia yang jelas dalam kosa kata kesusateraan Melayu.  Kedatangan  ulama besar bernama Al-Qadhi Amir Sayyid as-Syirazi dari Persia di Kerajaan Samudera Pasai ikut juga sebagai penggiat dan penegas teori Persia.
Teori kedua, Pijnappel dan Moquette keduanya dari Belanda ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat dan Malabar, India. Penggagas teori kedua ini mendasarkan penelitiaanya pada kesamaan mazhab yang dianut oleh kaum muslimin di Nusantara dan di Gujarat. Di samping itu Moquette menguatkan teori Islam Nusantara berasal dari Gujarat (India), dengan hasil penelitiannya terhadap batu nisan di kedua wilayah tersebut. Menurutnya, ada persamaan mencolok dan jelas antara batu nisan di Pasai yang tertulis tanggal 17 Zulhijah 831 H/27 September 1428 M dan batu nisan syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Atas dasar penemuan itulah, Moquette menegaskan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Teori Islam Nusantara ini juga diperkuat oleh Fatimi. Ia  menyatakan bahwa Islam berasal dari Bengal. Hasil penelitian Fatimi atas batu nisan Malik al-Saleh diketemukan adanya banyak  persamaan antara batu nisan tersebut dengan batu nisan di Bengal. Menurut pendapat Morisson; agama Islam masuk ke  Nusantara dibawa oleh orang-orang dari Pantai Coromandel. Pendapat yang sama sebelumnya pernah dikemukakan oleh Arnold. Ia mendasarkan penelitiannya pada kesamaan mazhab antara kaum muslimin dari Pantai Coromandel (juga Malabar) dan Nusantara, yakni kebanyakan mengikuti mazhab Syafi’iyah. Ia perpendapat bahwa Islam Nusantara juga berasal dari negara Arab. Teori Arnold yang menyatakan bahwa Islam berasal dari India dan Arab sekaligus juga pernah dikemukakan oleh sejarawan yang bernama Crawford. Teori kedua ini dikenal dengan teori Gujarat.
Teori ketiga, Menurut sejarawan, Keijzer memiliki analisis yang berbeda, menurutnya, Agama Islam masuk ke Nusantara berasal dari Mesir. Ia mendasarkan teorinya pada kesamaan mazhab, yaitu mazhab Syafi’iyah. Sementara itu, Niemann dan de Holander menyatakan Hadramaut sebagai tempat Islam berasal. Pada umumnya, para ahli di Indonesia setuju teori Arab ini.
Berdasarkan hasil seminar Nasional masuknya Islam ke Nusantara yang diadakan tahun  1969 dan tahun 1978, mereka  menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad VII M dan langsung dari tanah Arab. Daerah yang pertama kali disinggahi adalah pesisir Sumatera.
Keberadaan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur juga bisa dijadikan sebagai bukti paling awal adanya  agama Islam di Jawa. Makam tersebut bertanggal  tahun 475 H/1028 M. Namun, belum ada bukti bahwa komunitas Islam pada waktu itu sudah terbentuk. Di Trowulan dan Tralaya, di dekat situs istana Majapahit, terdapat nisan-nisan orang–orang Islam. Nisan itu bertanggal 1290 tahun Saka (1368-1369 M). Melihat Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an pada nisan-nisan itu menunjukkan kehadiran Islam pada sekitar tahun itu.
Beberapa argumen lain yang menyokong pendapat tentang Islam masuk ke Indonesia pada Abad ke 7 dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.          Seminar Masuknya Islam di Indonesia (di Aceh) sebagai dasar adalah catatan perjalanan Al Mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga (Jepara).
b.         Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalannya ke Cina.
c.          Gerini dalam bukunya: Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
d.         Prof. Sayed Naguib al-Attas dalam bukunya: Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malaya-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
e.          Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam bukunya: Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
f.           Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687  M sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.

Proses Penyebaran Islam di Indonesia
Masyarakat di kawasan Asia Tenggara telah mempunyai  peradaban yang tinggi sebelum kedatangan Islam. Hal demikian dikarenakan  kawasan Asia Tenggara terdiri dari negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan agama. Negara-negara ini, termasuk Indonesia telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India dan Cina. Tidak hanya dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga adat istiadat, agama dan kepercayaan.
Dalam bidang sastra, ditemukan buku-buku (kitab) kuno seperti kitab suluk yang mengkisahkan perjalanan seorang sufi agar memperoleh ilmu sejati. Kitab lain adalah kitab sutasoma, kitab Negara kertagama, dan sebagainya. Paparan tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama dan kepercayaan yaitu agama Hindu, Budha, selain animisme dan dinamisme yang telah berkembang lama sebelumnya.
Proses penyebaran agama Islam di Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri terhadap adat istiadat penduduk tanpa paksaan dan kekerasan. Hal inilah yang menyebabkan agama Islam mudah diterima, faktor lain adalah agama Islam memberi penghargaan pada sesama manusia dengan tidak membedakan harkat derajat dan martabat. Menurut Uka Tjandra Sasmita proses masuknya Islam di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.          Perdagangan.
Inilah saluran awal proses Islamisasi di Indonesia, pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India. Mereka telah ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia dan memunculkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indonesia dan para pedagang Islam. Proses penyebaran Islam melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif di banding cara  lainnya.
b.         Perkawinan
Dari proses hubungan komunikasi yang baik tidak jarang diteruskan dengan adanya perkawinan antara putri kaum pribumi dengan para pedagang muslim. Misalnya, perkawinan Raden Rakhmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungaten, perkawinan antara Raja Brawijaya dengan putri Cempa yang beragama Islam kemudian berputera Raden Patah yang pada akhirnya menjadi raja Demak.
c.          Politik
Islamisasi melalui saluran politik dilakukan secara berkesinambungan dengan penguasa dan pemerintahan, setelah penguasa atau rajanya masuk Islam hampir pasti rakyatnya juga masuk Islam (contoh di Maluku dan Sulawesi).
d.         Pendidikan
Jalur pendidikan menjadi media yang efektif dalam proses Islamisasi di Indonesia yang dilakukan melalui pesantren-pesantren dan pondok-pondok oleh para guru agama, kyai dan ulama. Melalui pendidikan di pondok-pondok pesantren  semuanya bertujuan untuk lebih mempermudah penyebaran dan pemahaman agama Islam.
e.          Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah dengan mengadakan pertunjukan seni gamelan dan Wayang. Cara seperti ini banyak ditemui di Jogjakarta, Solo, Cirebon, dan lain-lain. Seni gamelan banyak digemari masyarakat Jawa dan ini tentu dapat mengundang masyarakat berkumpul dan selanjutnya dilaksanakan dakwah Islam.
f.           Tasawuf.
Para Sufi mengajarkan tasawuf yang diramu dengan ajaran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Seorang sufi  biasa dikenal dengan  hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya.
Banyak hal yang penting untuk diketahui mengapa agama Islam berkembang pesat dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia antara lain :
a.          Agama Islam bersifat terbuka, sehingga penyiaran dan pengajaran agama Islam dapat dilakukan oleh setiap orang Islam.
b.         Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara  damai.
c.          Islam tidak mengenal diskriminasi dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
d.         Perayaan-perayaan  dalam agama Islam dilakukan dengan sederhana.
e.          Dalam  Islam dikenal adanya kewajiban mengeluarkan Zakat yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan kahidupan masyarakatnya dengan adanya kewajiban zakat bagi yang mampu.

Penyebaran Islam Melalui Kekuasaan
Islam di Indonesia dapat berkembang dengan pesat, di antaranya melalui kekuasaan politik, hal ini mendukung semakin luasnya ajaran Islam. Secara perlahan-lahan tapi pasti, agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang Hindu di pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil berbasis maritim kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas sampai jauh ke pelosok negeri. Sehingga bermunculan Kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi penyangga kekuatan dakwah Islam di Nusantara.
a.          Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1)         Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini diperkirakan berdiri sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M. sebagai hasil proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang muslim sejak abad ke-7 M, dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik al-Sholeh.
Hikayat Raja-Raja Pasai juga sebagai bukti peran da'i yang profesional. Cerita ini menceritakan penguasa Samudera Pasai bernama Merah Silu yang memeluk agama Islam atas ajakan Syekh Ismail. Syekh Ismail adalah seorang Da'i dan utusan Syarif Mekah yang datang melalui Malabar. Setelah memeluk agama Islam, Merah Silu mengganti namanya menjadi Malik al-Saleh. Raja Samudera Pasai ini memperistri putri kerajaan Perlak yang bernama Ganggang Sari, sehingga adanya perkawinan kedua kerajaan tersebut menjadi kekuatan besar untuk penyebaran dakwah Islam di Sumatera dan daerah-daerah sekitarnya. Menurut para sejarawan bahwa Samudera Pasai bukanlah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Karena Sebelumnya, telah berdiri Kerajaan Perlak dan Aru
Kerajaan Samudera Pasai berada di pesisir timur laut Aceh (sekitar Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang). Ibu kotanya ada di muara Sungai Pasangan. Terdapat dua kota besar yang terletak berseberangan di muara Sungai Pasangan, yaitu Samudera dan Pasai.
Dalam catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyatakan, ketika Ibnu Batutoh singgah di  Pasai, raja yang berkuasa bernama Malik al-Zahir. Ibnu Batutah menganggap bahwa raja ini benar-benar menunjukkan citra sebagai seorang raja muslim. Malik al-Zahir dikenal sebagai seorang raja yang ortodoks, suka mengajak dan mengundang diskusi dengan para ahli fikih dan ushul, sehingga istananya ramai dikunjungi para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia mengadakan hubungan dengan dunia Islam, diantaranya dengan Persia dan Delhi.
Pada tahun 1521 kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan dan dikuasai oleh Bangsa Portugis yang kemudian menguasainya selama tiga tahun. Setelah itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai masuk dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada awal abad ke-16 M. Ia memerintah antara tahun 1507 M hingga 1522 M.
Di dalam catatan sejarah, pulau Sumatera merupakan awal mula syi’ar agama Islam di Nusantara. Dari Sumatera inilah Islam mengembangkan sayap dakwahnya ke seluruh penjuru Tanah Air, sampai akhirnya Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
2)         Kerajaan Aceh Darussalam
Secara geografis, Kerajaan Aceh berada di Kabupaten Aceh Besar, berdiri abad ke-15 M merupakan kelanjutan dari kerajaan Lamuri oleh Muzaffar Syah (1465 – 1497 M). Raja pertamanya adalah Ali Mughayat Syah. Wilayah kekuasaannya dari Pidie sampai ke Sumatera Timur. Dan peletak dasar kebesaran Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qohar.
Diantara para sultan yang lain, Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M) berhasil membawa kejayaan kerajaan. Wilayah kekuasaannya meliputi pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera dan Aceh, tanah Gayo, Minangkabau. Setelah mangkat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani yang memiliki sikap liberal, lemah lembut, dan adil, pengetahuan agamanya maju dengan cepat. Sepeninggal beliau dipimpin oleh penguasa yang lemah sehingga mengalami kemunduran.
b.         Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
1)         Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah seorang adipati di Bintoro, Demak. Raden Fatah secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran. Dan atas prakarsa para wali, Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak. Kesuksesan Kerajaan Demak lepas dari kekuasan Majapahit yang sedang mengalami konflik internal kekuasaan. Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg yang sangat memperlemah kekuatan Majapahit.
Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan Demak berhasil memainkan peran strategis sebagai basis penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Pada tahun 1523-1524 M, Sunan Gunung Jati dengan tentara Kerajaan Demak berangkat menuju kearah Barat untuk menaklukan Banten. Sunan Gunung Jati adalah bersal dari Pasai yang menyingkir dari sana setelah Samudera Pasai ditaklukan bangsa Portugis. Sunda Kelapa dapat dikuasai. Namanya diganti menjadi Jayakarta.
Dalam mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah ke barat, Kerajaan Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa. Tercatat pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban. Beberapa daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya: Wirosari/Purwodadi (1528), Gagelang/Madiun (1529), Medangkungan/Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan Manaklukan Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544), Sengguruh/Malang (1545). Dalam upayanya menguasai Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia di Panarukan .
Menurut catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh Loaisa di tahun 1535, di antara kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan serangan pada kekuasaan Portugis. Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi bagian dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M menunjukkan Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan.
Paska mangkatnya Sultan Trenggono, kepemimpinan Kerajaan Islam Demak dilanjutkan oleh Sunan Prawoto namun tidak berselang lama, tragedi berdarah terjadi. Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya penangsang sebagai bentuk balas dendam terhadap Sunan Prawoto atas meninggalnya Sultan Trenggono. Arya Penangsangpun bernasib seperti pendahulunya. Atas kehendak taqdir, dalam dalam pertarungan satu lawan satu perlawanan Arya Penangsang berhasil dipatahkan oleh Jaka Tingkir. Dengan bantuan Kyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.
2)         Kerajaan Pajang.
Jaka Tingkir, adalah sultan dan raja pertama Kerajaan Pajang yang merupakan kelanjutan dari karajaan Demak. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah mangkat diganti oleh menantunya Arya Panggiri yang juga anak asuhan dari Prawoto. Namun putera Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa ingin menguasai dan tidak punya kemampuan untuk melawan Arya Panggiri, ia meminta bantuan Panembahan Senopati Penguasa Mataram untuk mengusir Arya Panggiri dan berhasil, dan akhirnya sejak itulah kerajaan Pajang dibawah kekuasaan Mataram.
Perkembangannya selanjutnya, karena  pada masa Sultan Agung bermaksud memberontak, maka penguasa Mataram menghancurkannya, dan berakhirlah kekuasaan Pajang pada tahun 1618 M.
3)         Kerajaan Mataram Islam.
Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613 - 1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Islam Mataram. Namun demikian, Kerajaan Islam Mataram banyak memberikan kontribusi terhadap proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih eksis sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono.
4)         Kerajaan (Kesultanan) Cirebon.
Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Secara geografis berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.
Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1 sura 1358 tahun jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa pertama adalah Ki Gedeng Alang-alang dan wakilnya adalah Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan nyi Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Yaitu buah perkawinan antara adik Pangeran Cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Pangeran Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatu Rasulullah.
Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568.
Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570. Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I, dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa. Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni :
a)         Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b)         Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
c)         Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon
5)         Kerajaan (Kesultanan) Banten
Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :
a)         Sunan Gunung Jati 
b)         Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
c)         Maulana Yusuf 1570 - 1580
d)         Maulana Muhammad 1585 - 1590
e)         Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
f)          Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650
g)         Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
h)         Sultan Abdul kahar 1683-1687
i)          Sultan Fadhl atau Sultan yahya 1687-1690
j)          Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
k)         Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)
l)          Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
m)      Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
n)         Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
o)         Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
p)         Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
q)         Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
r)          Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
s)         Aliyuddin II (1803-1808)
t)          Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
u)         Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
c.          Kerajaan-kerajaan Islam Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara
1)         Kerajaan Daha (Banjar)
Tidak banyak literatur yang menjelaskan tentang sejarah Kerajaan Daha, namun paling tidak bisa memberikan titik terang tentang keberadaan Islam di Kalimantan selatan. Pada awal aba XVI, Islam masuk ke kalimantan Selatan, yaitu di Kerajaan Daha (Banjar) yang waktu itu beragama Hindu. Berkat bantuan dari Sultan Demak, trenggono (1521-1546 M) Raja Daha dan rakyatnya memeluk agama Islam, sehingga berdirilah kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya yaitu Pangeran Samudera yang bergelar Pangeran Suryanullah atau Suriansah. Setelah naik tahta, daerah-daerah sekitanya mengakui kekuasaaanya yakni daerah Batangla, Sukaciana, Sambas dan Sambangan. Kemudian setelah itu di kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575 M Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda masuk Islam, terjadilah Islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Setelah itu, penyebaran Islam lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan oleh putranya dan para penggantinya meneruskan dakwah sampai di daerah-daerah yang lebih dalam.
2)         Kerajaan Gowa - Tallo
Kultur Kerajaan Gowa - Tallo tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan ini adalah kerajaan yang menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai “Serambi Madinah”.
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo  menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: (1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; (2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; (3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro.
Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa. Mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.
Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo’, Raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi Selatan.
Ada pendekatan unik yang dilakukan oleh oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa yaitu mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya. Dan oleh karena Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, maka Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam
3)         Kerajaan (Kesultanan) Ternate
Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.
Pulau Gapi atau Ternate mulai ramai di awal abad XIII, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing di kepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama-tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah-rempah.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (Gamalama).
Di masa-masa awal suku Ternate dipimpin oleh para Momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing-masing di kepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat-pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan-klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan-jabatan lain Bobato Nyagimoi Se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan-kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Demi menyatukan kerajaan-kerajaan tersebut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Ia mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara Islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata-mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa India. Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Perlakuan Portugis terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak-tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Pembunuhan secara licik terhadap Sultan Khairun oleh Portugis semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575.
Ternate mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan Sultan Baabullah, wilayahnya membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
a)         Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar-besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan.
b)         Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate-Hitu Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
c)         Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650, 1655-1675) yang terlampau akrab dan di anggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan bersekutu untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi (Kapita Laut), Majira (Raja Muda Ambon) dan Kalumata (adik Sultan Mandarsyah).
d)         Sultan Muhammad Nurul Islam (Sultan Sibori 1675-1691) merasa gerah dengan tindak-tanduk Belanda yang semena-mena. Ia menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. Hi. Mudhaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu-Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda-beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon-Portugal.

4)         Kerajaan Islam di Nusa Tenggara
Nusa Tenggaran sudah diwarnai dengan syiar Islam sejak abad XVI m. Islam dikenalkan oleh Sultan Prapen (1605), putra sunan Giri. Hubungan antara Sumbawa dan kerajaan Makassar membuat Islam turut berlayar ke Nusa Tenggara.
Perkembangan Islam di Nusa Tenggara dimulai dari Lombok, dari Lombok kemudian Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan dan tempat-tempat lainnya hingga seluruh Lombok memeluk agama Islam. Dan dari Lombok juga, Sunan Prapen menyampaikan dakwahnya hingga ke Sumbawa. Di Lombok berdiri Kerajaan Selaparang dan di bawah pemerintahan Prabu Rangkeswari itulah Kerajaan ini mengalami masa keemasan, selain itu juga memegang hegemoni di seluruh Lombok. Selaparang juga menjalin hubungan dengan beberapa Kerajaan Islam seperti Demak. Kerajaan Selaparang juga sering dikunjungi para pedagang, sehingga interaksi masyarakat muslim semakin baik.
Pada saat VOC berusaha menguasai jalur perdagangan, Kesultanan Gowa berusaha untuk menutup jalur perdagangan VOC ke Lombok dan Sumbawa. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa banyak yang masuk dalam kekuasan Kesultanan Gowa pada sekitar tahun 1618, Bima dikuasai Gowa tahun 1633 dan Selaparang tahun 1640, demikian juga daerah-daerah yang lain dikuasai oleh Kesultanan Gowa pada abad XVII. Hubungan antara kesultanan Gowa dan lombok pun dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaperang, Pejanggik dan Parwa.
Diantara Kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara adalah Kesultanan Bima. Rajanya yang pertama adalah Ruma Ma Bata Wadu yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Khair (1611-1640). Literatur mengenai sejarah Kesultanan Bima di abad XX dapat diperkaya pada gambaran terperinci Syair Kerajaan Bima. Syair Kerajaan Bima mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kesultanan Bima pada kurun 1815-1829. Ada empat kejadian yang diceritakan dalam syair tersebut: wafatnya sultan, diangkatnya penggantinya, serangan perompak dan meletusnya Gunung Tambora. Syair Kerajaan Bima dikarang seorang khatib yang bernama Lukman, yang masih merupakan kerabat sultan Bima, sekitar tahun 1830.
Syair Kerajaan Bima ditulis dalam Bahasa Melayu. Ragam bahasa yang digunakan umumnya tak berbeda dengan yang dipakai di Pulau Jawa atau Sumatera. Namun terdapat beberapa perbedaan. Pengaruh bahasa setempat (Mbojo) terlihat pada ejaan Jawi yang digunakan pada teks. Misalnya pengarang tidak menuliskan bunyi sengau di awal kata. Sifat bahasa Mbojo yang tidak punya bunyi konsonan di akhir kata, agaknya turut menyebabkan kesalahan ejaan pada bunyi-bunyi k, t, p pada akhir kata. Selain pengaruh bahasa Mbojo ditemukan juga kata-kata dari Bahasa Makassar yang umumnya mencakup pakaian, perhiasan dan alat upacara. Pengarang juga menyisipkan kutipan Bahasa Arab dari hadits atau ayat Al-Quran. Syair ini ditulis dalam Bahasa Melayu. Ragam bahasa yang digunakan umumnya tak berbeda dengan yang dipakai di Pulau Jawa atau Sumatera. Namun terdapat beberapa perbedaan. Pengaruh bahasa setempat (Mbojo) terlihat pada ejaan Jawi yang digunakan pada teks. Misalnya pengarang tidak menuliskan bunyi sengau di awal kata. Sifat bahasa Mbojo yang tidak punya bunyi konsonan di akhir kata, agaknya turut menyebabkan kesalahan ejaan pada bunyi-bunyi k, t, p pada akhir kata. Selain pengaruh bahasa Mbojo ditemukan juga kata-kata dari Bahasa Makassar yang umumnya mencakup pakaian, perhiasan dan alat upacara. Pengarang juga menyisipkan kutipan Bahasa Arab dari hadits atau ayat Al-Quran.(http://id.wikipedia.org/wiki/Syair_Kerajaan_Bima)

Pengaruh Islam Terhadap Peradaban Nusantara
Indonesia yang memiliki posisi strategis menjadi  salah satu pusat perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara. Lalu lintas perdagangan internasional ini jelas memberikan pengaruh yang besar dari sisi sosial-ekonomi bagi wilayah Nusantara. Saudagar-saudagar muslim baik dari Arab, Persia, India, Cina maupun dari berbagai manca negara  membawa pengaruh budaya mereka. Dan pada akhirnya, kehadiran mereka ikut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan budaya masyarakat di Tanah Air.
Secara politis, Ulama memiliki Kedudukan sebagai penasihat kerajaan atau hakim dalam pemerintahan, hal ini semakin mempermudah  penyebaran agama Islam ke daerah lain. Mereka melahirkan kader-kader da'i yang diberi tugas sebagai juru dakwah untuk daerah-daerah yang belum dimasuki dakwah Islam. Para ulama juga giat menulis buku dan kitab, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum.
Sentuhan Ilmuwan Muslim banyak terdapat di masjid yang didirikan oleh para wali yang mengembangkan kekokohan dan gaya arsitektur yang indah dengan sentuhan etnik dan budaya lokal, contohnya, dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Menara Kudus, dan Masjid Agung Baiturrahim Aceh. Keindahan arsitektur maupun ornamennya merupakan khazanah kebudayaan yang harus dijaga  kelestariannya. Lebih dari itu, sentuhan budaya setempat menjadikan kehadiran masjid dapat diterima oleh rakyat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama baru. Inilah salah satu kecerdikan dan kecerdasan para ulama dalam menyikapi karakter masyarakat.
Para wali, ulama, dan mubalig mampu membangun keharmonisan antara budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. Di tanah Jawa wayang yang berdasar cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sarana dakwah para wali dan mubalig. Di samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga mengenal masuknya seni budaya Islam Timur Tengah ke Tanah Air seperti rebana dan qasidah. Adat-istiadat yang berkembang di Indonesia banyak terpengaruh oleh peradaban Islam. Di antaranya adalah ucapan salam kepada setiap kaum muslim yang dijumpai, atau penggunaannya dalam acara-acara resmi pemerintah. Pengaruh lainnya adalah berupa ucapan-ucapan kalimat penting dan doa, yang merupakan pengaruh dari tradisi Islam yang lestari. Misalnya, ucapan Basmallah ketika akan melakukan sesuatu pekerjaan.
Dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan, banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya tentang konsep kholifatullah fil ardli dan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Mataram.
Perkembangan Islam dan Kesuksesan dakwah di Indonesia karena beberapa factor, diantaranya adalah :
a.          Berdakwah merupakan kewajiban, ini menjadi motivasi bagi setiap muslim bahwa dakwah merupakan kewajiban dan panggilan jiwa.
b.         Masuk Islam tidak memerlukan persyaratan yang berbelit-belit tetapi sangat mudah, aktifitas  ibadah di dalam agama Islam cukup mudah dan tidak memberatkan.
c.          Dalam ajaran Islam tidak mengenal pembedaan harkat,derajat adan martabat manusia berdasarkan kasta/gelar. Semuanya hanya diukur berdasarkan tingkat ketakwaan kepada Allah.
d.         Pendekatan persuasif dan cara yang simpatik sebagai cara alternatif dalam berdakwah, seperti melalui jalur perdagangan, kesenian, dan budaya.
e.          Para ulama dan juru dakwah mampu menampilkan kepribadian yang luhur dan akhlakul karimah.
f.           Dari sisi ajaran, Islam dipandang sesuai kepribadian bangsa Indonesia sebagai bagian dari budaya ketimuran.

Perkembangan Islam pada masa penjajahan (di Bawah Tekanan Imperialisme)
Imperialisme bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Islam berdampak terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Masyarakat muslim di Nusantara harus berjuang untuk menghalau penjajah dan berusaha untuk mencapai klimaks kemerdekaan di tahun 1945. Perjalanan bangsa Barat hingga ke Benua Asia tidak lepas dari motivasi Gold, Glory dan Gospel. Yaitu upaya untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen.
Setelah bangsa Portugis dan Belanda menjajah bangsa Indonesia, rakyat harus bangkit melawan kesewenangan yang dijalankan pemerintah kolonial tersebut. Rakyat Indonesia bangkit bersama-sama melawan Portugis dan Belanda dan berusaha memerdekakan diri dari cengkeraman penjajah.
Situasi yang terjadi di dunia Islam seperti itu berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Islam, ilmu pengetahuan serta peradaban Islam di Indonesia. Umat Islam tidak mampu lagi bangkit untuk menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban yang sebelumnya pernah dikembangkan oleh umat Islam di Andalusia atau Baghdad. Mereka semua berusaha mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari cengkeraman penjajah, sehingga banyak umat Islam yang kurang memikirkan kemajuan peradaban dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penjajahan itu menyebabkan kehancuran politik bangsa, seperti Indonesia, tidak mampu memimpin bangsanya, tidak dapat mengatasi kesulitan dan penderitaan rakyatnya. Politik devide et impera (politik adu domba) membuat bangsa yang dijajah mempunyai watak mementingkan dirinya sendiri dan saling bermusuhan antara satu sama lain. Sikap dan perilaku mereka sangat bertentangan dengan watak bangsa Indonesia dan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama Islam.
Bahaya lain dalam bidang politik yang diakibatkan dari penjajahan adalah penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Paham ini kemudian dikembangkan oleh kaum yang ingin mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara. Paham ini sangat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan umat Islam secara keseluruhan. Hampir seluruh negeri Islam di dunia yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Barat, dalam struktur pemerintahannya dan landasan negerinya mempergunakan landasan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Umat Islam harus saling tolong-menolong dan membantu sesama, dengan tanpa dilatar belakangi oleh kepentingan pribadi, suku atau golongan. Umat Islam harus dapat membangkitkan semangat juang mereka dalam segala hal. Sehingga mereka tidak lagi menjadi bahan atau objek penjajahan. Umat Islam harus bersatu dan memperjuangkan hak-hak masyarakat muslim dari penindasan yang dilakukan, baik oleh bangsa-bangsa Barat atau pun penindasan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Umat Islam harus terbebas dari segala bentuk penindasan dan ketergantungan dengan bangsa-bangsa bekas penjajahnya.
Pada akhirnya kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan dan mengorbarkan semangat jihad kaum muslimin di Indonesia, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (Madrasah) saja yang mendalami keislaman. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup ke-Barat-baratan. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Dan Ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar) dan lain-lain.

RANGKUMAN
1.         Proses penyebaran agama Islam di Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri terhadap adat istiadat penduduk tanpa paksaan dan kekerasan.
2.         Menurut Uka Tjandra Sasmita proses masuknya Islam di Indonesia melalui jalur Perdagangan, Perkawinan, Politik, Pendidikan, Kesenian dan Tasawuf.
3.         Agama Islam berkembang pesat dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena agama Islam bersifat terbuka, penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara  damai dan Islam tidak mengenal diskriminasi dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat.
4.         Dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan, banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya tentang konsep kholifatullah fil ardli dan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Mataram.
5.         Imperialisme bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Islam di Benua Asia tidak lepas dari motivasi Gold, Glory dan Gospel. Yaitu upaya untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan dan penyebaran agama Kristen.


Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Distributed By Blogger Template